Pintu Gerbang Masuk Baduy |
Tamu harap lapor (foto : Fani) |
Langkah mulai gontai, keringat bercucuran tak henti, angin semakin menusuk kulit dan hutan sekitar mulai gelap. Disini, di perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam kami berhenti sejenak. Di depan terbentang tanjakan yang maha dahsyat, tanjakan yang ujungnya tak pernah kelihatan dari tempat kami berdiri. Tanjakan cinta begitu teman baduy kami menyebutnya. Setelah menghela nafas panjang, kami ayunkan kaki yang mulai terasa berat. Baduy Dalam masih jauh, dan waktu istirahatpun akan semakin lama bisa kami nikmati. Ya, sabtu itu, 1 Desember, kami serombongan mencoba peruntungan dan ingin menghabiskan akhir pekan di salah satu suku asli Indonesia di Lebak, Banten.
Suasana yang mulai terasa berat tak menghalangi langkah kami. Apapun yang terjadi, kami harus tetap berjalan menyusuri jalan yang mulai licin karena hujan. Tak ada mengeluh, tak ada patah semangat. Dan awalnya tanjakan tak berujung ini yang harus kami taklukkan. Tak ada langkah mundur ataupun berbalik arah dalam pikiran kami. Inilah saatnya kami mengalahkan diri sendiri, keluar dari zona aman dan menunjukkan bahwa kami bisa. Bisa sejak dari pikiran. Benar saja, dengan perlahan-lahan kami naiki tanjakan itu. Beberapa kali kami terhenti, saling menyamangati, saling bergurau sambil menghela nafas untuk isi tenaga. Hujan yang turun seakan menambah semangat kami untuk terus berusaha. Dan benar saja, kami bisa mencapai ujung tanjakan tersebut dalam waktu hampir satu jam. Padahal menurut perkiraan saya, tanjakan hampir 80 derajat ini paling hanya sepanjang 600 m. Ya, kenyataan berkata lain, faktor usia tak bisa bohong. :))
Perjalanan didalam gelap dan hujan kami lanjutkan ke kampung Cibeo, Baduy Dalam. Kami dikawal beberapa sahabat dari kampung tersebut. Santa dan Sapturi, dua pemuda yang membantu kami menyusuri jalanan banyak mendaki dan sedikit menurun itu. Mereka adalah putra-putra Cibeo yang dengan sukarela membantu kami, padahal kami tidak ikut rombongan mereka. Mereka baru saja mengantarkan rombongan yang menginap di rumah mereka semalam sebelumnya. Tak pilih-pilih mereka membantu. Dengan bahasa Indonesia yang lumayan lancar, mereka dengan telaten menuntun kami. Banyak hal yang sempat kami tanyakan pada mereka, baik soal adat baduy ataupun hal lain yang berkaitan dengan dunia luar.
Tapi ada sedikit hal yang menggelitik. Sapturi yang ku perkirakan berusia sekitar 12 tahun itu tahu kata-kata anak sekarang. Ya dia mengenal galau. Bahasa anak jaman sekarang yang suka kita sebut alay ternyata sudah sampai kepada meteka. Sempat terpikir dari mana mereka mengetahui hal ini. Dari penuturan Sapturi dia mengetahui kata-kata itu dari temannya. Bahkan temannya juga mempunyai FaceBook. Hmmm, mereka mulai meeasakan akulturasi budaya asing. Sudah banyak fakta yang menyebabkan suatu suku bangsa menjadi seperti bukan dirinya ketika budaya asing sudah merasuki hampir semua aspek kehidupannya. Terbayang suatu saat nanti, mereka ketika diminta membantu kita, mereka menjawab "ciyus? miapah?". Apa yang terjadi...
Jembatan bambu |
Mejeng sejenak di jembatan bambu pertama yang kami lalui |
Hari ini kami sudah bisa mengalahkan diri sendiri, mengalahkan ego, mengalahkan keinginan untuk lebih mementingkan diri sendiri. Inilah hikmah sebenarnya tafakkur alam. Selain mendekatkan diri dengan yang Maha Kuasa, juga menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain, bagi lingkungan juga. Banten, Baduy Dalam, Sapturi telah mangajarkan arti lain kehidupan pada kami. Pelajaran yang takkan ternilai harganya sampai kapanpun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar