Jumat, Desember 14, 2012

Mengenal lebih dekat Orang Kenekes, Saudara kita dari Banten.




Pernah dengar tentang orang Kenekes? Kalau belum pernahkah mendengar tentang orang Baduy? Ya, Orang Baduy atau Kenekes adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5000 hingga 8000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Mereka tinggal di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Banten. Sekitar 40 km dari pusat kota Rangkas Bitung. Pintu masuk ke kawasan ini salah satunya melalui Ciboleger. Secara umum ciri khas perkampungan disini adalah rumah berupa rumah panggung yang beratap rumbia atau kelapa. Dinding dan lantai rumah terbuat dari bambu, dan dapur berada di dalam rumah (tidak terpisah). Setiap kampung memiliki komplek tempat menyimpan hasil panen (padi) masing-masing. Bangunan ini biasanya terpisah beberapa meter dari perkampungan. Masyarakatnya hidup dari hasil bertani dan berdagang hasil kebun dan souvenir kepada pengunjung.
Pemandangan di sepanjang jalan
Seperti mayoritas masyarakat di daerah Banten lainnya, bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda, namun dengan dialek Sunda–Banten. Walaupun sebenarnya sebagian besar diantara mereka lancar berbahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang dunia luar. Seperti seorang teman kami yang rumahnya kami pakai menginap ketika berkunjung ke Baduy Dalam (Desa Cibeo), Sapturi namanya. Dia  sangat lancar berbahasa Indonesia, walaupun tidak pernah sekolah. Menurutnya mereka dilarang sekolah,, karena berlawanan dengan adat-istiadat. Kabarnya dulu pemerintah sempat meminta dan membangunkan sarana sekolah untuk anak-anak Kenekes, tapi mereka tetap menolak dan tak mau bersekolah. Jangan tanya alasan tertulis dari pelarangan tersebut. Adat-istiadat, agama yang mereka anut, cerita nenek moyang dari jaman baheula hanya tersimpan dan berupa lisan saja.

Tak jauh dari gerbang masuk baduy via Ciboleger
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam). Meraka sangat ketat mengikuti adat istiadatnya. Mereka tinggal di Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Cibeo adalah yang terdekat dari Cibeoleger dan malam itu kami menginap disana. Ciri khas warga sini adalah memakai pakaian berwarna putih atau hitam dan selalu memakai ikat kepala putih. Menurut adat mereka secara turun temurun mereka dilarang menjamu ataupun bertemu dengan orang asing (non WNI dan WNI keturunan Tionghoa).

Teman Baduy kami (ki-ka) Sapturi, Nemong, Jakri
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam menurut penuturan Sapturi (warga Cibeo), antara lain :
  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi kemanapun.
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki.
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan.
  • Larangan menggunakan alat elektronik dan bunyi-bunyian yang tidak alami (alarm, hp, tv, dll)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Menurut penuturan Sapturi, dia pernah berkunjung ke Jakarta dengan tujuan silaturahmi beberapa kali. Terakhir, seminggu sebelum bertemu kami, dia berada di Jakarta selama 2 minggu lamanya. Berkeliling mencari alamat orang yang pernah menginap di rumahnya sebelumnya. Sapturi dan dua temannya kesana berjalan kaki dari Cibeo dan tanpa alas kaki. Selama itu juga dia bisa berjualan souvenir yang dibawanya.  Biasanya mereka menjual gantungan kunci, sarung pulpen, sarung hp, tas samping dan kain tenun dengan harga mulai dari Rp 5ribu, sedangkan madu hutan dijual dengan kisaran Rp. 50ribu/ botol. Dan dia masih dengan baik menyimpan foto yang diberikan teman yang dikunjunginya ketika di Jakarta. Jakarta adalah tempat terjauh yang pernah dia jangkau dengan berjalan kaki. Dahsyat...

Beberapa tanjakan yang kami lalui
Kelompok panamping adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar). Mereka tinggal di perkampungan yang mengililingi baduy dalam, diantaranya Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Ciri khas mereka adalah mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam, terkadang tak memakai ikat kepala sama sekali. Mereka (Kenekes Luar) telah memutuskan keluar dari adat istiadat, dikeluarkan secara adat dan keluar dari wilayah Kenekes Dalam. Mereka dikeluarkan karena melanggar adat istiadat dan karena menikah dengan warga Kenekes Luar. 

Penduduk baduy luar (internet)
Dibandingkan dengan Kenekes Dalam, Kenekes Luar ciri-ciri masyarakatnya adalah :

  • Mengenal teknologi, peralatan modern sehari-hari. Biasanya yang menjadi penghubung untuk kita menuju Kenekes Dalam adalah warga sini. Yang bisa dihubungi dengan telpon.
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua, kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
Biasanya kalau kita menemukan ada orang Baduy yang naik kereta api, mobil itu adalah warga Baduy Luar. Yang secara adat istiadat sudah tidak terikat dengan ketentuan tidak boleh menggunakan alat transportasi. Orang Baduy Luar bahkan sudah sampai ke Cirebon. Kang Emen penghubung kami bahkan menjemput kami di stasiun Rangkas dengan menumpangi elf, dan tak memakai ikat kepala sama sekali, karena memang sudah dikeluarkan dari adat Baduy Dalam, walaupun dia dan orang Baduy Dalam masih saling mengenali satu sama lain.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001). Dan kami tidak ingat apakah kami melewati tempat ini atau tidak sewaktu berkunjung ke Baduy Dalam itu. Mungkin karena kecapean dan terlalu menikmati alam, jadi kami lupa menanyakan sebagian nama kampung yang kami lewati. Inilah efek karena berangkat/bepergian tak membawa buku saku untuk mencatat, karena ingatan manusia mempunyai keterbatasan untuk mengingat.

Padi huma yang biasa ditanam di pegunungan Kendeng
Seorang ibu sedang menyulam kain baduy
Sebagian besar masyarakat Kenekes hidup dengan bertani padi ladang/padi huma. Sepanjang perjalanan kesini kita akan menemui dua tanaman utama, yaitu padi yang membentang diperbukitan dan durian. Kebetulan ketika kami berkunjung lagi musim durian. Harga yang mereka patok terbilang murah, hanya Rp. 15ribu/2 buah durian atau kalau bisa menawar 5 buah dhargai Rp 50ribu. Banyak juga pedagang dari luar ke tempat ini, biasanya menggunakan sistem barter dan juga sudah menggunakan uang resmi. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger (pintu masuk kami).

Kampung Gajeboh, kampung terakhir bagi yg hanya ingin sampai Baduy Luar
Sebuah peringatan di perbatasan kampung Gajeboh
Sudah banyak orang luar yang mengunjungi wilayah ini. Umumnya mahasiswa, tapi banyak juga pengunjung dewasa lainnya. Biasanya pengunjung bisa menginap semalam di Baduy Dalam (biasanya Cibeo) atau di Baduy Luar (biasanya Gazeboh). Karena Baduy Dalam tidak menerima orang asing non WNI, orang Indonesia keturunan Tionghoa, maka biasanya mereka menginap dan menghabiskan waktu di Baduy Luar. Mereka menerima para pengunjung dengan baik. Tinggal di rumah mereka dan dijamu dengan masakan hasil masak mereka (bahan biasanya dibawa pengunjung), tapi harus menuruti adat-istiadat yang berlaku di tempat ini. Yang paling terkenal adalah tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai yang airnya sangat jernih. Biasanya pengunjung akan meninggalkan tanda terima kasih kepada warga tempat mereka menginap berupa uang ataupun memberikan makanan. Apapun yang diberikan mereka terima. 

Seorang bapak dan anaknya yang masih belia berjalan  dengan semangat
Seorang Bapak di batas boleh dipergunakannya kamera
Kami sepanjang perjalanan hanya bisa takjub akan keindahan dan keramahan serta pelajaran hidup dari warga Baduy. Trek yang dilalui sebagian besar adalah menanjak. Jalan dari tanah dan kadang berbatu, memerlukan fisik yang kuat untuk dilalui. Jalan akan semakin terasa berat ketika ditambah dengan hujan yang turun. Selain licin, karena kita berjalan di atas dan punggung perbukitan, kilat dan petir akan terasa sangat dekat dengan kepala. Dijalan kami berpapasan dengan anak berusia kira-kira 10 tahunan, tapi kuat mengangkut balok kayu yang lumayan besar. Ada juga anak seusia hampir sama, menggendong beberapa buah durian dengan langkah tegap. Tak ada rasa keluh kesah, tak ada rasa menyesal terlihat di wajah mereka. Bahkan porter yang biasa dimintai tolong untung membawa tas atau peralatan pengunjung, sebagian besar adalah anak berusia belasan tahun. Dengan langkah tegap, walaupun tanpa alas kaki mereka membantu pengunjung.

Mereka bergelut dengan waktu
Menurut mereka hidup harus diisi dengan hal yang bermanfaat, dan rasa ikhlas mengarungi kehidupan. Dan kenikmatan itu mencapai puncaknya ketika mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama... 

Narsis di jembatan sebelum meninggalkan baduy
Jambatan penghubung antar kampung
Perkampungan dan komplek lumbung padi